KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karuni-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya mengenai “KEBAKUAN BAHASA INDONESIA”.
Makalah ini berisikan tentang informasi apa itu kebakuan bahasa atau yang lebih khususnya membahas penggunaan bahasa yang baku, upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang kebakuan bahasa Indonesia.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.
Makassar, 30 November 2011
Penyusun
RISWAN ANSARI
DAFTAR ISI
Kata pengantar ……………………………………………….
Daftar isi ……………………………………………….
Pembahasan …………………………………………….....
1. Bahasa baku ……………………………………….
2. Fungsi bahasa baku ……………………………………….
3. Pemilihan ragam baku ……………………………………….
4. Bahasa Indonesia baku ……………………………………….
Penutup ……………………………………………….
A. Kesimpulan ……………………………………….
B. Saran ……………………………………….
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
PEMBAHASAN
PEMBAKUAN BAHASA INDONESIA
Pembakuan
Bahasa Indonesia atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap
paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa. Masalah kewajaran terkait
dengan berbagai aspek. dalam berbahasa, misalnya aspek ini meliputi situasi, tempat,
mitra bicara, alat, status penuturnya, waktu, dan lain-lain. Aspek-aspek
tersebut disebut juga dengan istilah konteks. Konteks itulah yang menuntut
adanya variasi bahasa. Dalam pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan dengan
masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial. Berdasarkan fungsinya
itu, maka bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan untuk
berkomunikasi dalam segala fungsinya. Setiap acuan cenderung dipergunakan
sesuai konteks yang mempengaruhinya.
Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah untama standardisasi bahasa adalah acuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang ditetapkan sebagai acuan standar.
Ada beberapa hal yang perlu dipedomani untuk penetapan bahasa baku atau standar. Pedoman itu meliputi hal sebagai berikut:
1. dasar keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi, baik tulis maupun lisan.
2. dasar keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah.
3. dasar kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah untama standardisasi bahasa adalah acuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang ditetapkan sebagai acuan standar.
Ada beberapa hal yang perlu dipedomani untuk penetapan bahasa baku atau standar. Pedoman itu meliputi hal sebagai berikut:
1. dasar keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi, baik tulis maupun lisan.
2. dasar keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah.
3. dasar kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
1. Bahasa Baku
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.
Untuk menentukan apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta keseragaman.
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.
Untuk menentukan apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta keseragaman.
a.Kemantapan dan Kedinamisan
Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya kalau dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terentuk kata jadian peraba.
Dinamis artinya tidak statis alias tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang kaku, apalagi mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan tokohnya disebut langganan dan orang yang berlangganan di tokoh itu disebut pelanggan.
Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya kalau dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terentuk kata jadian peraba.
Dinamis artinya tidak statis alias tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang kaku, apalagi mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan tokohnya disebut langganan dan orang yang berlangganan di tokoh itu disebut pelanggan.
b. Kecendikian atau Kerasionalan
Ragam baku bersifat cendikian karena ragam baku dipakai di tempat-tempat resmi dan oleh orang terpelajar. Selain itu, ragam baku dapat menjembatani antarpengguna, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemprosesan pesan.
Contoh kalimat yang tidak cendikia:
1) Dukun beranak di jalan.
2) Saya akan membeli buku sejarah baru.
3) Permasalahan itu telah disampaikan berulang kali.
Kontruksi dukun beranak dan buku sejarah baru pada kalimat (1) dan (2) di atas bermakna ganda. Makna pada kalimat (1) kemungkinan ada dua, yaitu dukun melahirkan di jalan dan dukun yang profesinya sebagai dukun beranak berada di jalan. Kalimat (2) juga memiliki kegandaan makna. Makna kalimat tersebut bisa saja buku yang baru dan bisa juga sejarahnya yang baru. Sedangkan kalimat (3) terdapat kekurangtepatan dalam menentukan pasangan kata (–)yang cocok. Perbaikan kata yang kurang tepat itu adalah berulang-ulang atau berkali-kali.
c. Penyeragaman
Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman. Sebagai contoh, sebutan pelayanan kapal terbang dianjurkan mengguanakan istilah pramugara untuk laki-laki dan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada orang yang menggunakan kata steward/stewardes dan penyerapan itu seragam,maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan tetapi, kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan dalam konteks keindonesiaan.
2.
Fungsi Bahasa Baku
Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa baku mempunyai fungsi lain.
Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi – fungsi tersebut adalah
Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa baku mempunyai fungsi lain.
Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi – fungsi tersebut adalah
(1) fungsi pemersatu,
(2) fungsi pemberi kekhasan,
(3) fungsi pembawa kewibawaan, dan
(4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan
di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb. atau dalam
pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan,
dengan guru, dengan orang yang baru dikenal dsb.
3.
Pemilihan Ragam Baku
Moeliono (1972:2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan cendikiawan.
Moeliono (1972:2) mengatakan bahwa pada umumnya yang layak adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Termasuk di dalamnya para pejabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan cendikiawan.
Penggunaan
ragam baku
Seperti: Surat menyurat antarlembaga, laporan keuangan, larangan ilmiah, lamaran pekerjaan, surat keputusan, perundangan, nota dinas, dapat dinas, pidato resmi, diskusi, penyampaian pendidikan dan lain-lain.
Seperti: Surat menyurat antarlembaga, laporan keuangan, larangan ilmiah, lamaran pekerjaan, surat keputusan, perundangan, nota dinas, dapat dinas, pidato resmi, diskusi, penyampaian pendidikan dan lain-lain.
4.
Bahasa Indonesia Baku
Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam baku, maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi,berdasarkan Ejaan Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan ciri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu, seseorang tidak diketahui secara linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam berbahasa Indonesia baku, ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang dikuasainya.
Dalam konteks lafal baku ini, sebagai contoh penggunaannya adalah lafal para penyiar TVRI dan RRI. Lafal mereka sudah dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal baku. Di bawah ini disajikan contoh lafal baku dan lafal tidak baku.
Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam baku, maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi,berdasarkan Ejaan Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut Konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan ciri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu, seseorang tidak diketahui secara linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam berbahasa Indonesia baku, ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang dikuasainya.
Dalam konteks lafal baku ini, sebagai contoh penggunaannya adalah lafal para penyiar TVRI dan RRI. Lafal mereka sudah dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal baku. Di bawah ini disajikan contoh lafal baku dan lafal tidak baku.
Tulisan lafal
baku lafal
tidak baku
analisis analisis analisa
apotek apotek apotik
atlet atlet atlit
bus bus bis
besok besok esok
dapat dapat dapet
enam enam anam
Dalam bidang ejaan, pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun 1947, diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Di bawah ini disajikan perubahan dalam EYD :
Lama Yang Disempurnakan
dj djalan j jalan
j pajung y payung
nj njonja ny nyonya
sj sjarat sy syarat
tj tjakap c cakap
analisis analisis analisa
apotek apotek apotik
atlet atlet atlit
bus bus bis
besok besok esok
dapat dapat dapet
enam enam anam
Dalam bidang ejaan, pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun 1947, diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Di bawah ini disajikan perubahan dalam EYD :
Lama Yang Disempurnakan
dj djalan j jalan
j pajung y payung
nj njonja ny nyonya
sj sjarat sy syarat
tj tjakap c cakap
Dalam
bidang tata bahasa, pembakuan telah dilakukan, yakni dengan diterbitkannya buku
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosa kata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari (1) ejaannya, (2) lafalnya, (3) bentuknya, (4) sumber pengambilannya.
Dalam bidang peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi sumbernya, istilah-istilah yang diambil dapat bersumber dari (1) kosa kata bahasa Indonesia (baik yang lazim maupun tidak), (2) kosakata bahasa serumpun, dan (3) kosakata bahasa asing.
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosa kata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari (1) ejaannya, (2) lafalnya, (3) bentuknya, (4) sumber pengambilannya.
Dalam bidang peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi sumbernya, istilah-istilah yang diambil dapat bersumber dari (1) kosa kata bahasa Indonesia (baik yang lazim maupun tidak), (2) kosakata bahasa serumpun, dan (3) kosakata bahasa asing.
1.Ciri-Ciri Lafal Baku
Bahasa Indonesia
Bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar. Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari zeni, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara.
Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Bandingkan kolom A dan B berikut (suku kata yang mendapat tekanan dinyatakan dengan kapital).
Bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi. Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar ini, yang menyangkut lafal adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar. Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari zeni, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam berbicara.
Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis yang menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian kalimat. Bandingkan kolom A dan B berikut (suku kata yang mendapat tekanan dinyatakan dengan kapital).
A
B
terBANG TERbang
menerBANGkan meNERbangkan
menerbangKANnya meNERbangkannya; menerBANGkannya
terBANG TERbang
menerBANGkan meNERbangkan
menerbangKANnya meNERbangkannya; menerBANGkannya
Pada contoh di atas
tampak bahwa kaum terpelajar secara taat asas menempatkan tekanan pada suku
kata kedua dari akhir (Kolom A) kecuali bila suku kata kedua itu mengandung
vokal e pepet (/ /), sedangkan kelompok tak-terpelajar cenderung menempatkan
tekanan pada bentuk dasar pada suku yang tetap atau pada suku ketiga dari akhir
(Kolom B), tanpa memperdulikan apakah suku tersebut mengandung e pepet atau tidak.
2. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia
Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur
2. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia
Adanya ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan Untuk keperluan berbahasa lisan tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur
a. Pembakuan Lafal
melalui Jalur Sekolah
Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan pada tahap tertentu dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan lafal baku itu guru hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Pembakuan lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan pada tahap tertentu dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal bahasa baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan lafal baku itu guru hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin.
b. Pembakuan Lafal
melalui Jalur Luar Sekolah
Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di berbagai tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa . Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut.
(1) Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
(2) Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.
Di atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di berbagai tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa . Untuk bisa memberikan model lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut.
(1) Setiap pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
(2) Para penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.
Untuk menindak lanjuti
pembakuan bahasa Indonesia di lakukan 3 langkah, yaitu:
1.
Kodifikasi atau pencatatan kaidah
melalui inventarisasi.
2.
Elaborasi atau penyebarluasan hasil
kodifikasi,
3.
Implementasi atau pelaksanaan hasil
usaha kodifikasi dan elaborasi.
PENUTUP
Kesimpulan
Bahasa
baku atau bahasa standar adalah bahasa yang mempunyai nilai komunikatif yang
tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau
dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku,
ejaan baku, istilah atau kosakata baku, serta lafal baku. Adapun fungsi bahasa
baku adalah sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa
baku mempunyai fungsi lain. Selain itu, juga berfungsi sebagai pemersatu, pemberi kekhasan, pembawa kewibawaan, dan sebagai kerangka
acuan.
Saran
Untuk
dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar kita juga harus konsisten.
Artinya jika berbahasa Indonesia, maka jangan mencampur baurkan dengan bahasa
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf,
Gorys. 1984. Tata bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
Junus
Husai dan Arifin Banusuru. 1996. Tinjauan Sejarah Bahasa Indonesia dan
Pemakaian Kalimat yang Baik dan Benar. Surabaya: Usaha Nasional.
http://ramlannaria-wordpress.com/2010/06/09/pembakuan-bahasa-indonesia/
http://pusatbahasa.diknas.go.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar